Memasuki awal kemerdekaan, Republik Indonesia mengalami banyak berbagai permasalahan yang terjadi. Mulai dari kondisi ekonomi yang sangat tidak stabil, pusat pemerintahan yang tidak aman dan masih banyak permasalahan lainnya. Meskipun sudah merdeka dan tidak ada bayang-bayang Belanda, tapi permasalahan harus diperbaiki.
Melihat kondisi yang kurang stabil dan keadaan yang sangat genting, ada beberapa kebijakan yang harus dilakukan dan ditempuh oleh tokoh kemerdekaan kala itu. Salah satunya yang paling menyita perhatian adalah gerakan pinjaman nasional. Bagian satu ini sangat menarik untuk dilihat, karena memberikan gambaran terhadap keadaan Indonesia kala itu.
Sekilas Mengenai Pinjaman Nasional
Pindah Pusat Pemerintahan
Tepatnya pada Januari, 1946 pusat Pemerintahan Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta untuk menyelamatkan bangsa dan negara. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa keadaan, baru setahun mengalami kemerdekaan, tentu Indonesia masih menghadapi berbagai perlawanan dan membuat keadaan belum sepenuhnya kondusif.
Apalagi pertempuran antara pejuang tanah air dan serdadu dari Belanda terus meningkat, termasuk di Jakarta. Melihat keadaan tersebut, Pemerintah Indonesia harus merencanakan proses pemindahan, apalagi pertempuran terus terdengar hingga ke rumah Presiden dan Wakil Presiden kala itu.
Tetapi, meskipun memutuskan untuk pindah ibukota negara bukan berarti Indonesia kala itu tengah dalam keadaan ekonomi yang baik-baik saja. Beberapa permasalahan ternyata tidak hanya faktor keamanan semata, tetapi kondisi ekonomi juga mempengaruhi keadaan, statusnya Indonesia sedang diambang bangkrut.
Bahkan, menurut Oey Beng To menjelaskan apabila kondisi Indonesia kehabisan uang tunai, tapi cadangan emas dalam bentuk batangan dan candu masih tersimpan. Namun, untuk keberlangsungan negara jangka panjang, hal tersebut tidak bisa mencukupi berbagai kebutuhan yang harus dikeluarkan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada beberapa program yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya gerakannya adalah pinjaman nasional, kebijakan tersebut dari Menteri Keuangan Ir. Surachman dan disetujui oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP).
Mengatasi Permasalahan Hiperinflasi
Ketika masa transisi kemerdekaan, Indonesia mengalami kondisi hiperinflasi yang sangat kacau. Hal ini membuat kondisi nilai mata uang mengalami penurunan yang begitu besar dan sangat berlebihan. Kondisi satu ini disebabkan oleh keadaan yang mana mata uang Jepang masih beredar secara besar-besaran, sedangkan uang dalam negeri belum ada.
Adanya kebutuhan yang tidak bisa dihindari, membuat pemerintah Indonesia harus melakukan beberapa program untuk mengatasi permasalahan tersebut. Berikut ini beberapa kebijakan yang dilakukan untuk mengatasinya, simak yuk.
1. Program Pinjaman Nasional
Akibat inflasi yang sangat tinggi disebabkan oleh kas negara yang sudah kosong. Salah satu cara untuk menyelamatkan perekonomian bangsa dan negara, maka pinjaman nasional menjadi cara untuk mengatasinya. Program satu ini termasuk kebijakan Menteri Keuangan kala itu yaitu Ir Surachman.
Melalui agenda tersebut, banyak masyarakat yang mendukung kebijakan tersebut. Bahkan, banyak masyarakat yang berbondong-bondong dengan sukarela untuk memberikan pinjaman dan langsung ke Bank Tabungan Pos dan ke rumah pegadaian untuk proses pengumpulan pinjaman kepada negara Indonesia.
Atas inisiatif bersama, target yang sebelumnya 1 miliar rupiah berhasil terkumpul dalam jangka waktu setahun saja. Bahkan, tidak tidak kurang dari 6 bulan saja, pinjaman yang digagas oleh Menteri Keuangan itu berhasil mengumpulkan biaya sebesar 500 juta rupiah. Dengan modal tersebut, Indonesia perlahan bangkit dan membuat beberapa kebijakan.
2. Mengeluarkan ORI (Oeang Republik Indonesia)
Ketika keadaan mulai stabil, Pemerintah Indonesia mengeluarkan mata uang sendiri. Tepatnya pada tanggal 30 Oktober 1946 mengeluarkan mata uang kertas pertama kali dan dikenal zaman dahulu ada ORI. Mata uang satu ini digunakan untuk alat pembayaran yang resmi dan sebagai pengganti dari mata uang Jepang yang sempat beredar.
Untuk mengatasi inflasi tersebut, kebijakannya setiap seribu mata uang Jepang mempunyai nilai satu rupiah ORI. Jumlahnya pun masih sangat dibatasi, untuk satu keluarga saja hanya boleh memiliki Rp. 300 ORI dan belum berkeluarga sebesar Rp. 100 ORI. Hadirnya mata uang ORI tersebut, mata uang Belanda dan Jepang tidak berlaku lagi.
3. Bentuk Bank Negara Indonesia
Akibat adanya peredaran mata uang ORI, ternyata membuat permasalahan baru kembali hadir. Karena peredaran terkait ORI tidak terkendali dan memicu inflasi akan hadir ditengah masyarakat. Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah Indonesia membentuk Bank Negara Indonesia.
Tepatnya pada 1 November 1946, Indonesia meresmikan Bank Negara Indonesia 46 sebagai bagian dari bank utama atau induk. Awal mula pendiriannya pun berasal dari Yayasan Pusat Bank yang didirikan oleh Margono Djojohadikusumo. Saat itu, Pemerintah Indonesia melalui menteri keuangan Syafruddin Prawiranegara mengelola BNI 46 tersebut.
Melihat kondisi Indonesia kala itu, maka pinjaman nasional termasuk dalam program strategis untuk menyelamatkan bangsa dan negara. Apalagi kas negara yang hampir habis membuat tokoh nasional harus mencari alternatif dan jalan tengah atas permasalahan tersebut.